Wednesday, October 24, 2018

Perjalanan

7 tahun bukan waktu yang sebentar, setiap tahun punya bulan, setiap bulan punya hari, setiap hari punya jam, setiap jam punya menit dan setiap menit punya detik. Total ada sekitar 13 juta detik dalam 7 tahun. Tak selalunya tentangmu. Tapi lagi –lagi seperti yang sudah-sudah seperti bermain lalu kembali kerumah.

2011 selalu spesial, mau di selipin joke martabak juga terserah pokoknya spesial. Tahun yang kalo kata anak selatan life changing banget. Bukan karena ketemu kamu, tapi karena keterima di kampus negeri. karena dari situ ku dapat bonus sejatinya dari kuliah di ptn selain murah. Ya, ketemu kamu.

2012 mulai hambar, kita mulai di jalan yang berbeda. Aku dengan hidupku kamu dengan hidupmu. Disitu kurasa ada yang salah. Butuh 3 tahun untuk menyadari ternyata yang salah adalah diriku sendiri. Membangun ekspektasi yang akhirnya menjerumuskan hati pada kekecewaan.

2013,2014,2015 terjebak disitu situ aja. Pengen rasanya bergerak maju atau kata anak selatan move on  Cuma ternyata yang ada kembali lagi ke pusaran penyerap perhatian yang biasa orang sebut itu harapan. Parah sih Tuhan kadang suka iseng menitipkan perasaan yang tidak seharusnya kepada orang yang ga pas aja. Tapi disini Tuhan menitipkan satu anak adam untuk kujaga. Sebenernya cantik dan baik sudah kuseriusi dan ingin ku nikahi, alhasil Tuhan pun tak merestui.
2016 tahun krusial, terlalu asyik jadi mahasiswa kita lupa harus lulus kuliah. Aku senang kita tau betul posisi kita masing masing saat ini. Aku yang pernah mati matian mengejar kamu nyatanya tahu bagaimana harus bersikap ditengah pelik masalah pacaran dan skripsi, dan kamu yang mulai ngga jelas setelah putus jalan sana sini sama ini itu. Akhirnya kita bisa lulus, bareng. Epic. Dari situ aku tau betul bahwa rasa sayang yang dikelola dengan baik mampu jadi energi positif yang bisa bikin kita sama sama maju. Hari itu ga ada tendensi buat ngejar kamu sedikitpun. And I’m proud of myself.

2017 berjalan sebagaimana seharusnya dengan tanggal tanggal merah hari besar di dalamnya. Aku bersyukur atas hidupku dan kuharap kamu juga begitu. 

2018 sudah ku plot menjadi akhir cerita kita. Tak mungkin kita akan bergelut dengan waktu saling mengisi kekosongan antara kita. Disitu salahku ambil keputusan. Dan baru sadar aku ingin selalu ada, seperti yang kusampaikan sebelumnya disetiap detik rotasi dan di setiap laju revolusi.

Harusnya paragraf terakhir adalah konklusi. Kesimpulan dari sebuah cerita yang terkarang sendiri dari lama. namun kali ini tidak begitu. karena aku tak tahu bagaimana kita berakhir nanti. izinkan ku sisipkan sedikit saja pesanku untukmu. Terimakasih telah menjadi teman baik yang sangat berarti mengajarkan banyak hal selama ini. Diantara ke anti-an kita terhadap skeptisnya orang orang tentang hidup dan cinta, aku belajar banyak dari pertemanan kita. Dan aku bersyukur karena Tuhan kenalkan aku padamu. Terimakasih, Aku berdoa untuk kesehatan dan kebaikanmu. Sampai bertemu.

Friday, October 23, 2015

Fikiran Diluar Batas

Selamat pagi, jika ditengok kembali puluhan tahun lalu. Tuhan menitipkan satu orang untuk ku perhatikan sekarang, kemarin, dan nanti. Bayi kecil lucu yang bahkan aku tak tahu lahir dimana, hingga akhirnya nama kita muncul di Koran se-Indonesia dalam pengumuman ujian masuk kuliah. Mendramatisir adalah kemampuan yang aku pelajari sejak kecil, mungkin kamu juga. Menangis sekeras mungkin setelah jatuh kecil agar diperhatikan oleh Ibu dan Ayah. Sekarang, tak perlu kan aku menangis sekeras dulu untuk mendapatkan perhatianmu? Selalu yang kupercaya, pertemuan dengan seseorang adalah persimpangan dalam perjalanan hidup. Dan bertemu kamu hari itu, membuatku memilih jalan lurus, bersamamu. Atau saat ini, dibelakangmu. Dan aku bersyukur mengenalmu.

Selamat pagi kamu, yang kutemui selepas maghrib di depan minimarket. Hari itu aku baru memahami bahwa memang ada tanda kebesaran Tuhan dalam pergantian siang dan malam. Dan dari hari itu, aku memutuskan untuk selalu mengingatmu. Keputusan yang gegabah dan terburu-buru, tanpa pikir panjang dan cenderung gila. Tapi untukmu, aku cenderung berfikir diluar batas. Dan karena itu, aku berhasil mengikutimu sejauh ini. Pendaki gunung selalu bilang puncak adalah pilihan dan rumah adalah kewajiban. Dan dalam perjalanan hidup, menjadikanmu rumah adalah hal yang patut diperjuangkan. Jangan khawatir, pendaki akan berhenti dan kembali turun hanya jika tau dia akan mati. Aku bersyukur mengenalmu.

Selamat siang kamu, yang duduk menunggu tamu datang dari jauh. Tak terasa kita berteman 3 bulan dari saat kita bertemu. Dengan baju seadanya dibungkus almamater, kamu jadi pusat semestaku hari itu. jangan bilang berlebihan, untukmu, aku cenderung berfikiran di luar batas. Jangan lupa itu. hari itu kutegaskan untuk jadi teman baikmu. Berusaha untuk selalu ada walau realisasinya ditutupi rasa takut dan malu. Tapi setidaknya ku coba untuk sekedar tau keadaanmu. Mulai saat itu, aku mengorbit padamu. Hingga akhirnya aku putuskan ingin memberitahumu lewat cara aneh yang kupelajari dari SMA, sulap. sulap adalah bentuk nyata dari abstraksi dunia. Memunculkan yang tidak ada, melakukan yang tidak mungkin. Tapi setiap pesulap punya pesan yang ingin disampaikan. Dan hari itu, aku rasa kita semua tau apa yang pesulap amatir itu ingin sampaikan. Aku bersyukur mengenalmu.

Selamat malam kamu, yang duduk lelah di kasur lelah dengan semua tugas akhir ini. Yang tak tahu ingin menulis apa dimana. Hidup ini persimpangan bukan? setiap orang yang kita temui, setiap momen yang kita alami. Kita yang memilih jalan ini hari ini, jalani saja dan lakukan yang terbaik. Tuhan tak pernah melihat usaha hambanya yang sungguh-sungguh bukan? Aku bicara seperti orang yang normal yang berfikir jernih tapi untukmu, aku cenderung berfikiran diluar batas. dan aku bersyukur mengenalmu.

Sekarang aku paham rasanya jadi Sapardi yang bikin puisi “aku ingin” dan “nokturno”. Begitu ingin cinta sederhana yang ternyata memang rumit. Depresi tapi tak berhenti dan menyerah. Tapi kamu tidak lupa kan, untukmu, aku cenderung berfikiran diluar batas. Jangan khawatir, aku masih dibelakangmu. Masih mengorbit padamu. Berusaha mengejar ketertinggalan sejauh apapun itu hingga tangan dapat menjangkau pundakmu. Terimakasih untukmu yang membuatku selama ini berjalan melampaui batasku sendiri. aku selalu berdoa untuk kesehatan dan kesuksesanmu, Selalu. Disetiap  detik rotasi, disetiap laju revolusi. Hingga semesta ini berhenti.

Monday, June 15, 2015

Selamat pagi, Ibu Frans

Tok, tok.  Selamat pagi Ibu Frans. Suara anak kecil yang ramah dan hangat memanggil tetangganya. Aku menghabiskan kebanyakan waktu kecilku kuhabiskan sebagai seorang penakut. Ketika ditinggal Bapak dan Ibu bekerja, tinggal dirumah sendiri bukan hobi yang kusukai. Penyelesaian paling ampuh yaitu dengan dititipkan kepada tetangga. Jaman kecil dulu, titip-titip anak seperti ini bukan hal yang aneh. Hidup di jaman dimana HP belum berkembang adalah momen terbaik. Interaksi terasa sangat nyata.

Perkenalkan ini Ibu Frans, tetangga depan rumahku. Seorang ibu rumah tangga dengan 4 anak laki-laki yang sudah besar ketika aku SD dulu. Dan juga punya banyak sekali anjing yang bersahabat baik denganku. Ibu Frans sekeluarga adalah penganut katolik yang sangat taat. Hampir setiap weekdays ketika aku pulang sekolah aku pergi kerumah Ibu Frans untuk sekedar bermain dan menghabiskan waktu menunggu Bapak dan Ibu pulang dari kantor. Dan percayalah, kehangatan Pak Frans, Ibu Frans, dan keempat anaknya masih terasa hingga umur 21 tahun ini.

Siang itu jam 10 pagi, Aku datang kerumah Ibu Frans dengan seragam sekolah lengkap dengan tas. Aku masuk dan disambut dengan anjingnya yang luar biasa banyak, sekitar 5-6 ekor. Tapi ketika tau aku akan datang, Ibu Frans memasukan anjingnya kedalam garasi dan terkadang dilepas saja. Sudah kubilang diawal masa kecilku habis dengan rasa takut, termasuk dengan anjing.

Ibu Frans terkadang menceritakan tentang hidupnya dulu untuk menunggu makan siang. Tak jarang juga ia menceritakan tentang kisah-kisah di Al-kitab. Hingga tiba waktu makan siang, aku, Ibu Frans, dan satu anaknya duduk di meja makan. Sebelum makan Ibu Frans selalu mengajaku berdoa. Tentu dia berdoa kepada Tuhanya dan aku berdoa kepada Tuhanku. Aku masih ingat doanya sebelum makan seperti ini, “Tuhan, terimakasih Kau sehatkan Aku, Keluargaku, dan Oca (nama panggilanku waktu kecil). Terimakasih Tuhan kau berikan kami makanan yang enak, jagalah Aku, keluargaku, dan Oca. Berkatilah kami Tuhan. Amin”. Damai sekali wajahnya ketika berdoa.

Selesai makan Ibu Frans dan anaknya setia menemaniku bermain, terkadang aku dan Ibu Frans menonton telenovela hingga Ibuku pulang dari kerja. Dan pergi kerumah Ibu Frans terus kulakukan hingga Pak Frans meninggal, Ibu Frans pindah rumah saat aku SMP. Setelah itu Beliau pindah ke daerah yang jauh di cipayung. Sejak saat itu hingga sekarang, aku selalu mengingat damai wajahnya saat dalam berdoa dan kujadikan damai wajahku dalam doaku.

Ibu Frans, terimakasih telah kau ajarkan hidup dari sisi lain yang selalu membuatku berfikir bahwa kedamaian adalah rumah kita, aku belajar darimu bahwa senyum saat berdoa pertanda syukur. Aku belajar darimu bahwa keramahan dan kebaikan akan selalu kembali ketika kita lepas. Aku belajar darimu bahwa agama bukan alat pemecah belah. Do’aku tak akan pernah sampai untukmu. Tapi Ibu Frans, Semoga engkau selalu sehat dan damai. Hingga esok hari aku datang kerumahmu dan bilang “selamat pagi, Ibu Frans.”

Monday, March 16, 2015

Kamu dan Waktu

Waktu itu relatif. Terimakasih untuk Albert Einstein yang bekerja seumur hidupnya untuk membuktikan itu. Waktu itu relatif, bisa memanjang, bisa melambat, yang pasti tak bisa kembali, karena itu waktu menjadi musuh utama mereka yang punya urusan dengan masa lalunya. Waktu dan kamu itu dua variabel yang sayangnya nggak bisa ditinjau dari teori apapun. Waktu dan kamu itu dua variabel yang gabisa di teliti eksistensinya karena untuk mengingatnya saja, jujur aku enggan. Tapi suatu hari nanti, aku ingin membuat waktu dan kamu sebagai dua buah variabel terikat, Waktu bersamamu.

Ketika bicara aku, kamu, dan waktu, singkatnya aku sebut itu dulu. Kita bertemu sesaat di simpang perjalanan hidup. Aku harus katakan aku tidak menyesal bertemu kamu hari itu, karena sampai saat ini kamu alasan aku memilih jalan di persimpangan itu yang membawa aku sampai di hari ini. Kamu alasan kenapa aku punya semangat untuk cepat sukses, kamu alasan kenapa aku ingin lambat mengulang masa lalu. Lihat apa yang kamu dan waktu perbuat padaku. Merusak? kurasa tidak, kamu hanya bocah kecil yang kuat dan tak ingin di jaga yang akan menggoreskan pensil warnanya dalam buku gambar hidupku.


Dulu kita sering berbagi. Dulu kita dekat, sedekat kening dan sajadah disaat sujud. Tapi sekarang kita sejauh perjalanan mendaki argopuro. 110 kilometer, mungkin lebih. Aku ingin kita dekat seperti dulu. Tapi aku lupa, waktu itu relatif, bisa memanjang, bisa melambat, tapi tak bisa kembali. Mungkin aku akan larut dalam penyesalan dan keinginanku itu. Atau kuambil jalan lain dan tak menyia-nyiakan inginku, inginku akan ku ubah menjadi angan. Mimpi yang akan kuraih meski harus berjalan 110 kilometer. Tak apa, yang paling penting aku punya tujuan, aku punya akhir dari perjalananku, Kamu. 

Saturday, March 7, 2015

Manglayang Hari Itu

Sore menjelang, suasana berawan dimusim penghujan menambah rentetan semangat ingin bermesraan dengan alam. George Mallory dan kawan-kawanya sepakat Everest ada untuk ditaklukan. Tapi kita sadar ketika kita mencoba menaklukan alam sebenarnya yang kita taklukan hanya ego kita sendiri. Merubuhkan tembok besar dalam diri hanya untuk sekedar mengatakan “aku bisa”. Dari 1924 mari sejenak ikut denganku, bukan Everest dengan tinggi sekitar 8000 meter diatas permukaan laut. Perkenalkan ini manglayang dengan tinggi 1818 meter diatas permukaan laut. Hanya seperempat Everest. Dimusim hujan ini, cerah dan akhir pekan menjadi pemanis untuk sejenak melepaskan diri dari bayangmu, ya, hanya bayangmu saja. Aku punya banyak teman yang luar biasa. Dan hari ini, tiga orang teman luar biasaku datang untuk bersama mengikis waktu yang memang mulai menipis di masa kuliah ini.

“aku bisa”. Itu yang kubawa selain doa, petuah ibuku, dan wajahmu dalam perjalanan malam berbagi waktu dengan alam. Berjalan ringan menuju tanjakan yang tak berkesudahan, perjalanan malam itupun dimulai dengan doa. Diawal perjalanan ada sungai kecil yang mengalirkan air, memang kecil tapi bayangkan apa yang akan tumbuh tanpa sungai kecil itu. Setidaknya, untuk puluhan tahun, dialah pahlawan kaki gunung manglayang. Sedikit perjalanan tanah rata, aku disambut jalur yang untuk melihatnya saja kita harus menengok keatas.

“aku bisa”. Ketika melihat tanjakan yang tak terlihat ujungnya itu seorang pendaki menunjukan mentalnya, dia tak akan mundur tapi maju meski perlahan, maju meski keram, maju meski dia tau dia akan berhenti. Aku berjalan di paling belakang setelah azizu, fahmi, dan eddy. Tiga teman luar biasaku tadi. Mereka luar biasa karena sabar menunggu orang sepertiku. Ya, aku tak seharusnya berada digunung. Mungkin itu kata yang lebih sopan untuk menggantikan kata “gemuk”. Tapi sejenak aku ingin berada di atas ketinggian, melawan batas yang orang-orang buat tentangku. Indah bukan berada diketinggian untuk melawan batas.

“aku bisa”. Setelah dua jam mendaki dengan pandangan hanya tanah, batu, tanaman, dan seekor laba-laba kecil yang ditakdirkan untuk tidak kuinjak malam itu, aku melihat langit mendung didepan, puncak. Dan perbekalanku masih lengkap. Doa, petuah ibuku, dan wajahmu masih ada dalam pikiranku setelah sampai diatas. Dingin, diselimuti kabut tipis aku memandang cahaya kota yang temaram. Tak usah jauh-jauh aku bisa melihat, jatinangor dan bandung dalam kedipan mata. Ajaib? Kurasa tidak, kamu hanya butuh dua jam pendakian untuk melihat apa yang kulihat. Sejenak kusempatkan melihat dirimu dari kejauhan dan kamu masih secantik itu dari sini.


“aku bisa”. Sampai di tengah perjalanan menembus batas diriku sendiri lewat contoh sederhana perjalanan hidup. Aku bilang kita masih ditengah perjalanan karena Eddy selalu menyebutkan quote andalanya ketika mendaki, sampai puncak adalah pilihan, dan pulang kerumah adalah kewajiban. Dan esok hari, aku harus siap menuruni apa yang sudah kudaki. 

berlajanlah dalam gelap. karena dalam gelap, matamu akan tertutup dan hatimu akan terbuka

Thursday, March 5, 2015

Mundurlah, dan berhenti

selamat pagi kamu yang selalu berada di singgahsana pikiranku. Rasanya tiap hari aku memohon agar kamu turun dari situ tapi rasanya menyuruhmu turun dari singgahsana itu seperti melawan arus air di sungai. Rasanya? Melelahkan. Hingga aku harus kembali berdamai membiarkanmu lama-lama dihatiku. Akibatnya? Fatal. Berada di posisi aneh yang bahkan menyapamu saja tak mampu. Bukan karena pengecut, hanya saja tak ingin melihat kamu sakit hati. Aku berusaha dewasa menanggapi mimpi tentangmu yang datang di malam buta. Mimpi itu hanya bunga tidur. Begitukah? Atau mimpi itu hasil rekaman dalam otak kita yang di ejawantahkan dalam bentuk abstrak dan hampir tidak mungkin? Di mimpi kita bisa terbang, sayang. dan jika di mimpiku ada kamu, maka sah sah saja jika kamu adalah pikiranku hari ini yang ku ejawantahkan dalam bentuk abstrak. Karena di mimpi, aku mampu melihatmu dari dekat dan ada senyum kecil yang kau lepaskan untukku. Yah mungkin itu bentuk abstraknya. Ya, aku mencari kesibukan lain. Tapi percayalah, muara dari kesibukanku adalah senyummu.

Hari ini pagi rasanya indah, tapi sayangnya fana. Rerumputan tinggi itu mulai merunduk karena embun. Bangunan itu akan runtuh jika tetap dibiarkan seperti itu. Aku akan berjalan kembali seperti biasa mencari sebuah rutinitas yang akan membantuku sejenak menurunkanmu dari titik teratas skala prioritasku. Mundurlah, dan berhenti. Mungkin itu akan membuatku hilang tapi berfikir realistis untuk saat ini. Mundurlah, dan berhenti. Hingga kamu turun perlahan. Mundurlah, dan berhenti. Mengejar ketidakpastian yang terus berjalan stagnan. Mundurlah, dan berhenti. Untuk sejenak memikirkan masa depan kita masing-masing. Ya, masing-masing. Karena rasanya tak akan ada kehadiranku dalam masa depanmu. Maka indahkanlah harimu selalu.


Selamat pagi sayangku…..

Saturday, December 27, 2014

Gerimis Mengikis

Sore ini hujan turun tidak terlalu deras namun pasti. Sedikit demi sedikit mengikis pasir yang sudah tipis. Tak ada yang menganggu kala itu kecuali kamu yang perlahan memberontak keluar dari otak. Aku hanya berjalan diluar rumah tanpa satu alasan yang jelas, bingung rasanya padahal hanya gerimis tapi mengapa membuatku basah kuyup. Tak kupedulikan dan kuteruskan jalan, menghabiskan waktu, menghabiskan kamu..

Dalam langkahku datang bualan yang ternyata hanya angan-angan. Mimpi yang kupatok terlalu tinggi yang akhirnya tak bisa kugapai sendiri.  Sedikit demi sedikit gerimis ini membuat kabut tipis mengikis. Jalan menjadi terang namun basah saat aku mengenang kisah. Kisah indah yang kubangun  yang kini rasanya sudah menjadi sampah.

Seperti yang Soe Hok Gie bilang pada puisinya. “akhirnya kita tiba pada suatu hari yang biasa”. Ya, akhirnya aku dan kamu tiba pada suatu hari yang biasa. Rasaku tapi masih luar biasa. Menggebu-gebu untukmu saat itu, dan hingga kini. Aku mengukir kayu hati ini sudah lama, tapi sepertinya salah saat kamu ku jadikan arah. kamu adalah pagi yang akan menjadi selaluku. Ketika kamu menolak untuk terbit, maka itulah malamku, dan malam itu akan kuhabiskan untuk tidur dan menunggu matahari esok hari.