Sore menjelang,
suasana berawan dimusim penghujan menambah rentetan semangat ingin bermesraan
dengan alam. George Mallory dan
kawan-kawanya sepakat Everest ada
untuk ditaklukan. Tapi kita sadar ketika kita mencoba menaklukan alam
sebenarnya yang kita taklukan hanya ego kita sendiri. Merubuhkan tembok besar
dalam diri hanya untuk sekedar mengatakan “aku bisa”. Dari 1924 mari sejenak
ikut denganku, bukan Everest dengan
tinggi sekitar 8000 meter diatas permukaan laut. Perkenalkan ini manglayang
dengan tinggi 1818 meter diatas permukaan laut. Hanya seperempat Everest. Dimusim
hujan ini, cerah dan akhir pekan menjadi pemanis untuk sejenak melepaskan diri
dari bayangmu, ya, hanya bayangmu saja. Aku punya banyak teman yang luar biasa.
Dan hari ini, tiga orang teman luar biasaku datang untuk bersama mengikis waktu
yang memang mulai menipis di masa kuliah ini.
“aku bisa”. Itu
yang kubawa selain doa, petuah ibuku, dan wajahmu dalam perjalanan malam
berbagi waktu dengan alam. Berjalan ringan menuju tanjakan yang tak
berkesudahan, perjalanan malam itupun dimulai dengan doa. Diawal perjalanan ada
sungai kecil yang mengalirkan air, memang kecil tapi bayangkan apa yang akan
tumbuh tanpa sungai kecil itu. Setidaknya, untuk puluhan tahun, dialah pahlawan
kaki gunung manglayang. Sedikit perjalanan tanah rata, aku disambut jalur yang
untuk melihatnya saja kita harus menengok keatas.
“aku bisa”. Ketika
melihat tanjakan yang tak terlihat ujungnya itu seorang pendaki menunjukan
mentalnya, dia tak akan mundur tapi maju meski perlahan, maju meski keram, maju
meski dia tau dia akan berhenti. Aku berjalan di paling belakang setelah azizu,
fahmi, dan eddy. Tiga teman luar biasaku tadi. Mereka luar biasa karena sabar
menunggu orang sepertiku. Ya, aku tak seharusnya berada digunung. Mungkin itu
kata yang lebih sopan untuk menggantikan kata “gemuk”. Tapi sejenak aku ingin
berada di atas ketinggian, melawan batas yang orang-orang buat tentangku. Indah
bukan berada diketinggian untuk melawan batas.
“aku bisa”. Setelah
dua jam mendaki dengan pandangan hanya tanah, batu, tanaman, dan seekor
laba-laba kecil yang ditakdirkan untuk tidak kuinjak malam itu, aku melihat
langit mendung didepan, puncak. Dan perbekalanku masih lengkap. Doa, petuah
ibuku, dan wajahmu masih ada dalam pikiranku setelah sampai diatas. Dingin,
diselimuti kabut tipis aku memandang cahaya kota yang temaram. Tak usah
jauh-jauh aku bisa melihat, jatinangor dan bandung dalam kedipan mata. Ajaib? Kurasa
tidak, kamu hanya butuh dua jam pendakian untuk melihat apa yang kulihat. Sejenak
kusempatkan melihat dirimu dari kejauhan dan kamu masih secantik itu dari sini.
“aku bisa”. Sampai
di tengah perjalanan menembus batas diriku sendiri lewat contoh sederhana
perjalanan hidup. Aku bilang kita masih ditengah perjalanan karena Eddy selalu
menyebutkan quote andalanya ketika
mendaki, sampai puncak adalah pilihan, dan pulang kerumah adalah kewajiban. Dan
esok hari, aku harus siap menuruni apa yang sudah kudaki.
berlajanlah dalam gelap. karena dalam gelap, matamu akan tertutup dan hatimu akan terbuka
No comments:
Post a Comment