Saturday, March 7, 2015

Manglayang Hari Itu

Sore menjelang, suasana berawan dimusim penghujan menambah rentetan semangat ingin bermesraan dengan alam. George Mallory dan kawan-kawanya sepakat Everest ada untuk ditaklukan. Tapi kita sadar ketika kita mencoba menaklukan alam sebenarnya yang kita taklukan hanya ego kita sendiri. Merubuhkan tembok besar dalam diri hanya untuk sekedar mengatakan “aku bisa”. Dari 1924 mari sejenak ikut denganku, bukan Everest dengan tinggi sekitar 8000 meter diatas permukaan laut. Perkenalkan ini manglayang dengan tinggi 1818 meter diatas permukaan laut. Hanya seperempat Everest. Dimusim hujan ini, cerah dan akhir pekan menjadi pemanis untuk sejenak melepaskan diri dari bayangmu, ya, hanya bayangmu saja. Aku punya banyak teman yang luar biasa. Dan hari ini, tiga orang teman luar biasaku datang untuk bersama mengikis waktu yang memang mulai menipis di masa kuliah ini.

“aku bisa”. Itu yang kubawa selain doa, petuah ibuku, dan wajahmu dalam perjalanan malam berbagi waktu dengan alam. Berjalan ringan menuju tanjakan yang tak berkesudahan, perjalanan malam itupun dimulai dengan doa. Diawal perjalanan ada sungai kecil yang mengalirkan air, memang kecil tapi bayangkan apa yang akan tumbuh tanpa sungai kecil itu. Setidaknya, untuk puluhan tahun, dialah pahlawan kaki gunung manglayang. Sedikit perjalanan tanah rata, aku disambut jalur yang untuk melihatnya saja kita harus menengok keatas.

“aku bisa”. Ketika melihat tanjakan yang tak terlihat ujungnya itu seorang pendaki menunjukan mentalnya, dia tak akan mundur tapi maju meski perlahan, maju meski keram, maju meski dia tau dia akan berhenti. Aku berjalan di paling belakang setelah azizu, fahmi, dan eddy. Tiga teman luar biasaku tadi. Mereka luar biasa karena sabar menunggu orang sepertiku. Ya, aku tak seharusnya berada digunung. Mungkin itu kata yang lebih sopan untuk menggantikan kata “gemuk”. Tapi sejenak aku ingin berada di atas ketinggian, melawan batas yang orang-orang buat tentangku. Indah bukan berada diketinggian untuk melawan batas.

“aku bisa”. Setelah dua jam mendaki dengan pandangan hanya tanah, batu, tanaman, dan seekor laba-laba kecil yang ditakdirkan untuk tidak kuinjak malam itu, aku melihat langit mendung didepan, puncak. Dan perbekalanku masih lengkap. Doa, petuah ibuku, dan wajahmu masih ada dalam pikiranku setelah sampai diatas. Dingin, diselimuti kabut tipis aku memandang cahaya kota yang temaram. Tak usah jauh-jauh aku bisa melihat, jatinangor dan bandung dalam kedipan mata. Ajaib? Kurasa tidak, kamu hanya butuh dua jam pendakian untuk melihat apa yang kulihat. Sejenak kusempatkan melihat dirimu dari kejauhan dan kamu masih secantik itu dari sini.


“aku bisa”. Sampai di tengah perjalanan menembus batas diriku sendiri lewat contoh sederhana perjalanan hidup. Aku bilang kita masih ditengah perjalanan karena Eddy selalu menyebutkan quote andalanya ketika mendaki, sampai puncak adalah pilihan, dan pulang kerumah adalah kewajiban. Dan esok hari, aku harus siap menuruni apa yang sudah kudaki. 

berlajanlah dalam gelap. karena dalam gelap, matamu akan tertutup dan hatimu akan terbuka

No comments:

Post a Comment